Ahli Sufi Menurut Sayyidi Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani QS.
Orang-orang
yang mengikuti perjalanan ruhani menuju Allah (Ahli Suluk atau Ahli Thariqat)
terbagi menjadi dua golongan.
Yangpertama, ialah golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.
Ciri-cirinya
:
Mereka
mematuhi ajaran al-Qur’an dan mematuhi amalan dan peraturan yang dicontohkan
dari perilaku dan kata-kata Nabi Muharnmad Saw.
Mereka
mengikuti panduan tersebut dalam perkataan, dalam bertindak, dalam pemikiran
dan dalam perasaan mereka.
Mereka
mengikuti maksud di dalam hati atau intisari yang tersirat dan yang
terpendam dalam ajaran Islam.
Mereka
sangat paham dan tidak mengikuti begitu saja ajaran-ajaran Islam.
Mereka
mematuhi ajaran Islam sepenuhnya, menghayati dan menikmati manisnya ajaran dan
prinsip agama.
Mereka
melakukan ibadah bukan karena paksaan, tetapi mereka merasa nikmatmelakukannya. Inilah jalan mistik
(keruhanian) yang mereka patuhi.
Mereka
adalah kaum pencinta Allah yang sebenarnya.
Ada
sebagian dari mereka yang dijanjikan dengan surga tanpa dihisab terlebih dahulu
di hari Pengadilan. Ada sebagian merasakan sedikit azab di Hari Pembalasan,
kemudian dimasukkan ke surga. Ada pula yang terpaksa merasakan azab neraka
untuk sekian lama guna membersihkan dosa-dosa mereka sebelum dimasukkan ke
surga. Tetapi tidak ada yang berada selama-lamanya dalam neraka itu. Yang kekal
dalam neraka ialah orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Yangkedua, ialah kaum yang sesat atau kaum Sufi yang palsu yang terdiri dari
berbagai golongan. Mereka ini adalah kaum yang sesat di zaman ini.
Banyak
golongan orang-orang yang sesat yang mengaku sufi (palsu) antara lain:
1. Golongan Hululiyyah: Ciri-cirinya :
Mereka
berpendapat adalah halal melihat badan orang yang bukan mahram, yang
menggiurkan nafsu, dan paras yang cantik yang bisa mendorong kepada zina, baik
lelaki atau perempuan, siapa pun baik anak atau isteri orang.
Mereka berbaur antara lelaki dan perempuan dan menari bersama-sama. Hal ini jelas sekali berlawanan dengan ajaran dan prinsip Islam.
Mereka berbaur antara lelaki dan perempuan dan menari bersama-sama. Hal ini jelas sekali berlawanan dengan ajaran dan prinsip Islam.
2.
Golongan Haliyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini gemar menyanyi, menari, memekik, menjerit dan menepuk tangan. Konon, dalam keadaan demikian mereka dapat mengatasi dan melampaui hukum-hukum syari’at Islam.
Ciri-cirinya :
Mereka ini gemar menyanyi, menari, memekik, menjerit dan menepuk tangan. Konon, dalam keadaan demikian mereka dapat mengatasi dan melampaui hukum-hukum syari’at Islam.
Tidak
perlu lagi bersyari’at karena telah melampaui peringkat syari’at. Hal ini jelas
sesat karena Nabi Muhammad Saw. sendiri pun mengikuti syari’at, walaupun ia
kekasih Allah Swt.
3.
Golongan Auliaiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini mendakwakan diri dekat dengan Allah. Dengan kata lain telah mencapai peringkat Aulia Allah. Apabila telah jadi Waliullah tidak perlu lagi shalat, puasa, haji, dan beribadah lainnya.
Ciri-cirinya :
Mereka ini mendakwakan diri dekat dengan Allah. Dengan kata lain telah mencapai peringkat Aulia Allah. Apabila telah jadi Waliullah tidak perlu lagi shalat, puasa, haji, dan beribadah lainnya.
Mereka
berpendapat bahwa seseorang Wali menjadi anak Allah dan dengan itu mereka lebih
tinggi derajatnya dari Nabi. Mereka mengatakan bahwa ilmu atau wahyu sampai
kepada Nabi melalui malaikat Jibril, tetapi Waliyullah menerima ilham atau hikmah
langsung dari Allah. Itulah dakwaan mereka. Pendapat mereka ini adalah silap
atau salah dan sesat yang akan membawa mereka kepada kebinasaan dan akan
menjerumuskan mereka ke lembah bid’ah dan kafir.
4.
Golongan Syamuraniyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka percaya kalam (perkataan) adalah kekal dan barangsiapa menyebut kalam yang kekal (kalam Allah) itu tidak terikat dengan hukum atau syari’at agama.
Ciri-cirinya :
Mereka percaya kalam (perkataan) adalah kekal dan barangsiapa menyebut kalam yang kekal (kalam Allah) itu tidak terikat dengan hukum atau syari’at agama.
Mereka
tidak peduli dengan hukum halal atau haram. Dalam upacara ibadah mereka
menggunakan alat musik. Perempuan dan lelaki berbaur menjadi satu. Tidak ada
hijab lelaki dengan perempuan. Ini sudah jelas sesat dan menyimpang jauh dari
ajaran al-Qur’an.
5.
Golongan Hubbiyyah:
Ciri-cirinya :
Ciri-cirinya :
Golongan
ini berkata bahwa apabila seseorang sampai ke peringkat cinta, mereka tidak lagi berada di bawah
hukum syari’at.
Mereka tidak peduli dengan pakaian. Kadang-kadang mereka bertelanjang bugil. Tidak ada lagi perasaan malu pada diri mereka. Inilah ajaran sesat dan menyesatkan.
6. Golongan Huriyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka tidak peduli dengan pakaian. Kadang-kadang mereka bertelanjang bugil. Tidak ada lagi perasaan malu pada diri mereka. Inilah ajaran sesat dan menyesatkan.
6. Golongan Huriyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka
senang berteriak-teriak, memekik-mekik, menyanyi, dan bertepuk tangan, konon
katanya untuk mendapatkan Dzauq (ekstasi).
Mereka mendakwa bahwa dalam keadaan Dzauq itu mereka bersenggama atau bersetubuh dengan bidadari. Setelah mereka keluar dari keadaan Dzauq, mereka pun mandi hadas. Mereka ini tertipu oleh nafsu mereka sendiri. Sesatlah mereka.
7. Golongan lbahiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini tidak menyuruh berbuat baik dan tidak melarang berbuat jahat. Sebaliknya mereka menghalalkan yang haram. Zina pun dihalalkan. Bagi mereka, semua wanita halal untuk semua lelaki. Inilah golongan yang sesat dan miskin yang meminta sedekah dari rumah ke rumah. Mereka beranggapan bahwa mereka menerima azab Allah yang hina.
8. Golongan Mutakasiliyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka mengamalkan prinsip bermalas-malasan dalam mencari nafkah. Mereka telah me- ninggalkan dunia dan keduniaan. Maka musnahlah mereka dalam kemalasan mereka sendiri.
Mereka mendakwa bahwa dalam keadaan Dzauq itu mereka bersenggama atau bersetubuh dengan bidadari. Setelah mereka keluar dari keadaan Dzauq, mereka pun mandi hadas. Mereka ini tertipu oleh nafsu mereka sendiri. Sesatlah mereka.
7. Golongan lbahiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini tidak menyuruh berbuat baik dan tidak melarang berbuat jahat. Sebaliknya mereka menghalalkan yang haram. Zina pun dihalalkan. Bagi mereka, semua wanita halal untuk semua lelaki. Inilah golongan yang sesat dan miskin yang meminta sedekah dari rumah ke rumah. Mereka beranggapan bahwa mereka menerima azab Allah yang hina.
8. Golongan Mutakasiliyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka mengamalkan prinsip bermalas-malasan dalam mencari nafkah. Mereka telah me- ninggalkan dunia dan keduniaan. Maka musnahlah mereka dalam kemalasan mereka sendiri.
9. Golongan Mutajahiliyyah:
Mereka berpura-pura bodoh dan berpakaian tidak senonoh dan bersikap seperti orang kafir.
Padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu cenderung meniru orang-orang yang zalim, kelak kamu akan di sentuh (dijilat) api neraka” (Hud: 113). Nabi pun pernah bersabda:
“Barangsiapa mencoba menyerupai sesuatu kaum, maka mereka dikira sebagai ahli kaum itu.“
10. Golongan Wafiqiyyah:
Mereka berpura-pura bodoh dan berpakaian tidak senonoh dan bersikap seperti orang kafir.
Padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu cenderung meniru orang-orang yang zalim, kelak kamu akan di sentuh (dijilat) api neraka” (Hud: 113). Nabi pun pernah bersabda:
“Barangsiapa mencoba menyerupai sesuatu kaum, maka mereka dikira sebagai ahli kaum itu.“
10. Golongan Wafiqiyyah:
Ciri-cirinya
:
Mereka berpendapat bahwa Allah yang mampu mengenal Allah. Dengan itu mereka tidak mau berusaha mencari hakikat atau kebenaran. Karena kebodohan mereka itu, mereka terseret ke jurang kerusakan dan kesesatan.
11. Golongan Ilhamiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini mementingkan ilham. Tidak mau menuntut ilmu dan tidak mau belajar.
Mereka berpendapat bahwa Allah yang mampu mengenal Allah. Dengan itu mereka tidak mau berusaha mencari hakikat atau kebenaran. Karena kebodohan mereka itu, mereka terseret ke jurang kerusakan dan kesesatan.
11. Golongan Ilhamiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini mementingkan ilham. Tidak mau menuntut ilmu dan tidak mau belajar.
Mereka
berkata bahwa al-Qur’an adalah hijab bagi mereka.
Mereka
menggunakan puisi karangan mereka sebagai ganti al-Qur’an.
Mereka
membuang al-Qur’an dan meninggalkan ibadah shalat, dan lain-lain.
Mereka
mengajarkan anak-anak mereka berpuisi sebagai ganti al-Qur’an. Maka sesatlah
mereka.
Demikian
banyak ajaran-ajaran sesat dari guru Sufl palsu di zaman ini, kata Sayyidi Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani QS.
Sebenarnya
golongan sesat dari kaum yang mengaku dirinya Sufi itu akan terus ada di setiap
masa, baik dari golongan kaum Muslimin yang melenceng dari jalan yang benar
maupun dari golongan kaum kafir juga.
Adapun
kaum kafir, sejak semula mereka telah tersesat dalam belenggu kekufuran.
Meskipun mereka bertabiat seperti seorang Sufi, dan mereka menahan diri dari
segala macam tuntutan hawa nafsu untuk bertaqarrub, namun dasar kepercayaan
mereka sendiri itu telah salah dan melenceng dari jalan Allah yang sebenarnya.
Mereka
seperti yang sering kita lihat pada orang-orang yang berkeperecayaan Hindu dan
Buddha dan sebagainya. Sayang sekali jerih payah mereka dalam mengendalikan
diri dari hawa nafsu dunia itu ditujukan untuk kepercayaan yang sesat, bukan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Allah
berfirman:
“Dan siapa yang memohon kepada tuhan yang selain Allah, dia tidak mempunyai
alasan apa pun tentang kepercayaannya itu, maka sesungguhnya perhitungannya
nanti di sisi Tuhannya jua, sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang
tidak beriman itu” (Al-Mu’minun: 117).
Sungguh
menyedihkan keadaan mereka. Mereka telah bersusah payah menahan segala
kenikmatan di dunia, tetapi tidak mampu memetik hasil dari jerih payahnya itu,
karena apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka. Sementara di akhirat
mereka pun akan mendapat hukuman, siksa di dalam api neraka untuk
selama-lamanya karena tidak mengikuti petunjuk yang benar.
Bagaimana
dengan orang-orang yang beriman, tetapi kemudian yang tersesat jalan? Mungkin
pada awalnya mereka melangkah di jalan yang benar atau berniat baik untuk
tujuan Sufi. Tetapi tidak mustahil, mereka bisa tertipu dalam perjalanan
kesufiannya itu, karena terpengaruh oleh hawa nafsu.
Nafsu
yang akan ditentangnya ternyata berbalik muka menjadi gejala yang menentangnya.
Orang yang menentang hawa nafsu itu bertujuan menghadapkan wajahnya kepada
Tuhan yang dicari-Nya agar dikenali-Nya. Perlakuannya di dalam kesufian itu
bukanlah bertujuan untuk mencari pangkat atau memperoleh pujian dan nama dalam
masyarakat pengikutnya.
Apabila
dilihatnya dirinya dihormati, para pengikutnya berkerumun mengelilinginya, dan
terharulah hatinya, ia sangat senang dengan keadaan ini. Padahal, inilah
penyakit, yang dalam istilah kesufian disebut Istidraj, yakni perkara-perkara
yang datang sebagai cobaan dan ujian kepada seorang Sufi.
Orang
yang semacam ini, memang setan senang sekali berdampingan dengannya. Dia malah
lebih senang menyenderkan dirinya dengan Sufi palsu ini daripada orang yang
bodoh dari liku-liku urusan agamanya. Memang mudah orang yang ‘bodoh’ itu dapat
dipengaruhi dan diperdayakan oleh setan, tetapi hasilnya hanya seorang saja.
Berbanding dengan Sufi palsu ini, dia mempunyai pengikut yang banyak, kalau
dapat diperdayakan setan satu orang Sufi, maka Sufi itu dapat menghantar
perdayaan itu kepada semua pengikutnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah.
Setan
akan berbisik kepada si Sufi palsu itu: Engkau seorang besar! Pengaruhmu
sungguh mengagumkan! Sebab para pengikutmu banyak sekali, karena itu engkau
jangan bimbang! Mereka tidak akan menyia-nyiakanmu. Engkaulah orang Sufi yang
benar! Engkau wali, dan bukankah wali itu orang kesayangan Tuhan! Apa pedulimu
kepada orang-orang bodoh yang merendahkan derajatmu. Mereka itu tidak mengerti.
Masih jahil. Jahil murakkab. Engkau begini, dan begitu, dan seterusnya. Bisikan
itu tidak ada akhirnya. Diberikan kepadanya Khatir-khatir, yakni
lintasan-lintasan hati yang semuanya palsu dan keliru, sedang dia termakan
semua umpan yang dipasangkan di dalam perangkapnya.
Itulah
dia Istidraj yang selalu menimpa orang yang mengangan-angankan diri menjadi
Sufi sebelum waktunya. llham yang diterimanya bukan ilham dari Allah Swt.,
tetapi ilham dari setan, sedang dirinya tidak tahu.
Orang
Sufi palsu ini sungguh berbahaya kepada umat Islam. Dia lebih berbahaya
daripada sang Sufi sesat, yang perjalanannya benar, tetapi kepercayaannya salah
dan sesat. Sebab orang Sufi sesat itu, semua orang Islam telah mengenalinya dan
mudah dikenali. Namun sang Sufi palsu itu akan membawa kekeliruan kepada
khalayak yang tidak mengerti, atau orang yang mudah terpengaruh dengan hal-hal
yang tidak asli atau tiruan. Lalu bukan saja dia yang sesat, malah dia akan
menyesatkan banyak orang yang tidak berdosa, hanya salahnya karena terpengaruh
dengan yang salah yang digambarkan sebagai benar,
wallahu-a’lam.
Para
pemimpin dan guru-guru Sufi dari golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah berpendapat
bahwa para sahabat, dengan berkat ajaran dan kehadiran Nabi, adalah dalam
keadaan Dzauq keruhanian yang tinggi martabatnya. Setelah zaman berlalu,
keadaan keruhanian yang tulen ini makin lama makin kurang dan tipis. Kemudian
keadaan keruhanian ini diwarisi oleh guru-guru mursyid yang kemudian, pecah menjadi
banyak firqah dan cabang.
Oleh karena terlalu banyak firqah dan golongan kaum mursyid itu, hikmah dan
tenaganya pun makin tipis dan makin berpecah-belah. Dalam banyak hal, yang
tinggal hanya bentuk zahir saja yang berlagak seperti guru Sufi, padahal
batinnya dan hakikatnya bukan Sufi. Lama kelamaan timbullah Sufi-Sufi palsu dan
bid’ah.
Ada
yang menganut golongan Haydari dan berpura-pura menjadi perwira dan pahlawan.
Ada pula yang menamakan diri mereka kaum Adhami dan berpura-pura mengikuti
jejak langkah Ibrahim Adham, yaitu seorang Sufi besar yang meninggalkan istana
dan pangkat sultan karena hendak mengamalkan ilmu Sufi. Bahkan, masih banyak
lagi ajaran sesat dari guru Sufi palsu yang timbul.
Dalam
zaman ini, ahli-ahli Sufi yang sebenarnya, yang bersesuaian dengan syari’at,
makin lama makin berkurangan jumlah mereka.
Kedua,
batin mereka, yaitu boleh dijadikan contoh teladan karena mereka mewarisi
keruhanian Nabi Saw. Sebenarnya contoh manusia yang paling baik ialah Nabi
Besar Muhammad Saw. Dialah sebenar-benar Sufi yang hakiki. Syari’at dan Hakikat
hendaklah bersama seiring jalan untuk kesinambungan agama dalam kehidupan mukmin dan mukminah sejati.
Seorang
Waliyullah yang mewarisi keruhanian Nabi akan memberi berkat kepada Si Salik
dengan kehadiran fisiknya. Sesungguhnya Iblis tidak dapat menyerupai Nabi Saw.
Awas, wahai Salik, orang buta tidak boleh menunjukkan jalan pada si buta yang
lain. Pandangan kita hendaklah tajam supaya kita dapat membedakan kebaikan
dengan kejahatan, walau sebesar zarrah pun.
Ingatlah,
bahwa perjalanan Sufi itu bukan medan permainan. Bila suka boleh ikut, bila
malas boleh ditinggalkan. la adalah jalan menuju ke Hadhirat Ketuhanan, yang
kepadanya tidak semudah diucapkan lisan. walaupun begitu, wajarlah ia menjadi
tujuan setiap insan. Yang ingin mencari ketenangan diri dan makrifat hakikat penciptaan Tuhan.
Bukankah kita disuruh menyembah-Nya menurut bunyi sebuah firman? Bagaimana boleh
menyembah kalau belum sempat untuk berkenalan?
Khatir
yang Datang Kepada Sufi
Khatir
itu ialah lintasan-lintasan hati, atau cetusan yang muncul di hati orang Mukmin
karena sesuatu sebab atau yang lain. la biasanya datang secara tiba-tiba
sehingga mengharukan orang yang didatanginya. Kalau ia telah terbiasa dengan
khatir- khatir seperti itu, maka perkaranya agak mudah sedikit, akan tetapi
khatir yang datang sekali-sekali harus diberikan perhatian yang cukup dan
dipertimbangkan dengan sehalus- halusnya agar dia tidak tertipu.
Apabila
khatir itu muncul, dan hatinya kuat mengatakan, bahwa dia itu datang dari
Malaikat, yakni Khatir-Al-Malak, mestilah dia bertenang lebih dahulu dan
bertanya pada dirinya:
Siapa engkau ini, dan engkau datang dari mana? Mungkin tidak sukar ia akan
mendengar suara hatinya menjawab: Aku ini sebagian Nubuwah, yakni pemberitahuan
khusus yang datang dari Al-Haqq, yaitu Tuhan yang sebenarnya. Aku memang benar.
Aku datang dari Habib (siapa yang dicintai) dan Ar-Rafiq (Rakan).
Khatir,
atau bisikan hati ini akan memenuhi kebatinannya, pendengarannya dan
pemandangannya. Sikap orang yang didatangi Khatir ini gemar sekali mengasingkan
diri dari kumpulan orang ramai, tidak suka banyak berbicara, seperti orang
sakit lagaknya.
Mukanya
terlalu masyghul karena tekanan Khatir yang datang menyelubungi jiwanya itu.
Dalam keadaan yang serupa itu, orang yang tidak tahu akan mengatakan bahwa dia
sedang ditimpa gangguan dalam dirinya, karena semua sifatnya berubah dan
seolah-olah dia berada di tempat yang bukan tempat yang dia sedang berada itu.
Tetapi sebentar lagi keadaannya akan berubah pula, dan dia kelihatan penuh
perasaan tenteram dan tenang, dan sedikit demi sedikit keadaannya akan kembali
pulih seperti sediakala seolah-olah tiada sesuatu yang menimpa dirinya.
Di
dalam keadaan dia sedang diselubungi Khatir itu, dia kelihatan seperti orang
yang terkena putau, yang kesadarannya tidak penuh. Kadang-kadang dia akan
mengatakan sesuatu yang boleh didengar oleh orang yang berada di sisinya, dan
kadang-kadang tidak kedengaran apa yang dikatakannya itu, seolah-olah dia
sedang asyik berbicara sesuatu dengan seseorang yang berada di sisinya. Namun
siapa yang mengerti semua keadaan ini kecuali orang yang sudah mengalaminya,
dan orang yang mengalami hampir semuanya tidak mau menceritakannya, karena
semua itu adalah rahasia-rahasia ketuhanan yang halus yang tidak boleh
dibocorkan. Dan kalau diberitahukan pula, mungkin ramai orang yang tidak
percaya. Mungkin dikatakan orang, dia itu terasuki jin, wallahu-a’lam.
lkhlas
dalam Beramal
Berkata
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani: Sekiranya kita ikhlas dalam amalan, kita akan
diceraikan dari kalangan makhluk, sehingga seolah-olahnya kita merasa jemu
untuk duduk-duduk bersama mereka. Hanya dengan menceraikan diri dari makhluk,
kita dapat ‘bersatu’ dengan Allah!
Memang
benar sekali, pintu menuju kepada Allah itu ialah mengosongkan hati sama sekali
dari urusan dengan makhluk, barulah hati itu akan lapang dan dapat dikuasai
oleh hal-hal yang datang dari Tuhan tanpa terganggu. Sebab para shalihin senang
sekali memunajatkan dirinya kepada Allah di waktu malam, di waktu semua orang
terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Apabila
kita mengasingkan diri dari manusia, dan bergiat membuat amalan-amalan yang
berupa taqarrub, maka ketika itu akan terbuka bagimu suatu pintu khusus yang
menyambung dengan Hadhirat Ketuhanan.
Hati
kita akan bersinar cemerlang, membawa jiwa atau ruhmu mengintip rahasia-rahasia
yang halus yang akan mempengaruhi dirimu. Itulah yang dikatakan makrifat, yang
menurut istilah yang lahir, bila dicarinya tidak akan ditemukan.
Tetapi
apabila hati itu dibersihkan dan disucikan dari segala kekotoran keduniaan,
makrifat malah datang mencarimu, dan akan didudukinya tempat di muka hati yang
sudah dibersihkan itu. Sehingga memancarlah sinar cahaya yang cemerlang tadi,
wallahu-a’lam.
Allah
Swt. telah menjadikan hati itu tempat letaknya makrifat dan ilmu. Ilmu itu
cahaya, tidak ingin duduk di tempat yang ada kotoran. Makrifat itu adalah
cahaya yang cemerlang, tidak akan setempat dengan daki-daki kekotoran.
Allah
Swt. menilik hati itu dalam sehari semalam sampai 360 kali, dan sekiranya Dia
tidak membiarkan ilmu dan makrifat itu berdiam di hati itu, niscaya hati itu
akan hancur berantakan. Tinggallah hati itu menjadi keras dan mati. Tetapi bila
hati itu kembali baik dan menghampirkan dirinya kepada Allah, maka Allah akan
menjadikan sungai kenikmatan mengalir dari muka hati itu.
Allah
menjadikan Ahlullah itu sebagai pembela agama. Peringkat yang tertinggi di
antara para makhluk ialah para Nabi dan Rasul. Di bawah peringkat itu ialah
para sahabatnya, dan berikut sesudahnya ialah para tabi’in dan seterusnya tabi’
tabi’in. Mereka ini semua senantiasa patuh dan mengamalkan apa yang diperintah
Tuhan. Mereka laksanakan suruhan Allah dan Rasul-Nya dengan kata dan doa, sama ketika sendirian ataupun di
khalayak ramai. Itulah orang-orang yang mewarisi para Nabi.
Mereka
ini sering disebut dan dibanggakan oleh Allah Swt. sebagai para hamba-Nya yang
shalihin, yang setiap gerak langkahnya diiringi dengan takwa dan setia. Mereka
telah membelakangi dunia dan semua urusan dunia, manakala orang lain sibuk
mengejarnya dan berusaha dengan penuh daya upaya untuk mencapainya. Sebab itu
dikatakan, bahwa orang yang mengejar dunia, dunia akan lari meninggalkannya.
Dan siapa meninggalkan dunia, dunia akan datang mendapatkannya.
Namun
begitu, bagi orang yang sudah mengenal hakikat dirinya, semua urusan dunia itu
akan menjadi tipis dalam pandangannya. Dunia pada hakikatnya tidaklah bernilai,
lantaran ia bukan dari jenis barang yang kekal. Sebab itu Allah telah
mengatakan, sekiranya dunia itu bernilai atau berharga hanya satu sayap nyamuk,
atau lalat, niscaya tidak akan diberikan-Nya kepada orang kafir. Lantaran dia
tidak berharga apa pun, maka diberikan kepada orang kafir itu untuk menjadi
pokok yang membinasakan. Maka apakah orang yang beriman itu, yang sudah kenal
arti dan harga iman itu masih mau menjual imannya dengan harta yang tidak
bernilai itu?
Itulah
pokok kefahaman orang Sufi dibandingkan dengan orang biasa, maka di manakah
kita berada sekarang ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar