Selasa, 13 Januari 2015

Ahli Sufi Menurut Sayyidi Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani QS.

Ahli Sufi Menurut Sayyidi Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani QS.
Orang-orang yang mengikuti perjalanan ruhani menuju Allah (Ahli Suluk atau Ahli Thariqat) terbagi menjadi dua golongan.
Yangpertama, ialah golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.
Ciri-cirinya :
Mereka mematuhi ajaran al-Qur’an dan mematuhi amalan dan peraturan yang dicontohkan dari perilaku dan kata-kata Nabi Muharnmad Saw.
Mereka mengikuti panduan tersebut dalam perkataan, dalam bertindak, dalam pemikiran dan dalam perasaan mereka.
Mereka mengikuti maksud di dalam hati atau intisari yang tersirat dan yang terpendam dalam ajaran Islam.
Mereka sangat paham dan tidak mengikuti begitu saja ajaran-ajaran Islam.
Mereka mematuhi ajaran Islam sepenuhnya, menghayati dan menikmati manisnya ajaran dan prinsip agama.
Mereka melakukan ibadah bukan karena paksaan, tetapi mereka merasa nikmatmelakukannya. Inilah jalan mistik (keruhanian) yang mereka patuhi.
Mereka adalah kaum pencinta Allah yang sebenarnya.
Ada sebagian dari mereka yang dijanjikan dengan surga tanpa dihisab terlebih dahulu di hari Pengadilan. Ada sebagian merasakan sedikit azab di Hari Pembalasan, kemudian dimasukkan ke surga. Ada pula yang terpaksa merasakan azab neraka untuk sekian lama guna membersihkan dosa-dosa mereka sebelum dimasukkan ke surga. Tetapi tidak ada yang berada selama-lamanya dalam neraka itu. Yang kekal dalam neraka ialah orang-orang kafir dan orang-orang munafik.

Yangkedua, ialah kaum yang sesat atau kaum Sufi yang palsu yang terdiri dari berbagai golongan. Mereka ini adalah kaum yang sesat di zaman ini.
Banyak golongan orang-orang yang sesat yang mengaku sufi (palsu) antara lain:
1. Golongan Hululiyyah: 
Ciri-cirinya :
Mereka berpendapat adalah halal melihat badan orang yang bukan mahram, yang menggiurkan nafsu, dan paras yang cantik yang bisa mendorong kepada zina, baik lelaki atau perempuan, siapa pun baik anak atau isteri orang.
Mereka berbaur antara lelaki dan perempuan dan menari bersama-sama. Hal ini jelas sekali berlawanan dengan ajaran dan prinsip Islam.
2. Golongan Haliyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini gemar menyanyi, menari, memekik, menjerit dan menepuk tangan. Konon, dalam keadaan demikian mereka dapat mengatasi dan melampaui hukum-hukum syari’at Islam.
Tidak perlu lagi bersyari’at karena telah melampaui peringkat syari’at. Hal ini jelas sesat karena Nabi Muhammad Saw. sendiri pun mengikuti syari’at, walaupun ia kekasih Allah Swt.
3. Golongan Auliaiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini mendakwakan diri dekat dengan Allah. Dengan kata lain telah mencapai peringkat Aulia Allah. Apabila telah jadi Waliullah tidak perlu lagi shalat, puasa, haji, dan beribadah lainnya.
Mereka berpendapat bahwa seseorang Wali menjadi anak Allah dan dengan itu mereka lebih tinggi derajatnya dari Nabi. Mereka mengatakan bahwa ilmu atau wahyu sampai kepada Nabi melalui malaikat Jibril, tetapi Waliyullah menerima ilham atau hikmah langsung dari Allah. Itulah dakwaan mereka. Pendapat mereka ini adalah silap atau salah dan sesat yang akan membawa mereka kepada kebinasaan dan akan menjerumuskan mereka ke lembah bid’ah dan kafir.
4. Golongan Syamuraniyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka percaya kalam (perkataan) adalah kekal dan barangsiapa menyebut kalam yang kekal (kalam Allah) itu tidak terikat dengan hukum atau syari’at agama.
Mereka tidak peduli dengan hukum halal atau haram. Dalam upacara ibadah mereka menggunakan alat musik. Perempuan dan lelaki berbaur menjadi satu. Tidak ada hijab lelaki dengan perempuan. Ini sudah jelas sesat dan menyimpang jauh dari ajaran al-Qur’an.
5. Golongan Hubbiyyah:
Ciri-cirinya :
Golongan ini berkata bahwa apabila seseorang sampai ke peringkat cinta, mereka tidak lagi berada di bawah hukum syari’at.
Mereka tidak peduli dengan pakaian. Kadang-kadang mereka bertelanjang bugil. Tidak ada lagi perasaan malu pada diri mereka. Inilah ajaran sesat dan menyesatkan.
6. Golongan Huriyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka senang berteriak-teriak, memekik-mekik, menyanyi, dan bertepuk tangan, konon katanya untuk mendapatkan Dzauq (ekstasi).
Mereka mendakwa bahwa dalam keadaan Dzauq itu mereka bersenggama atau bersetubuh dengan bidadari. Setelah mereka keluar dari keadaan Dzauq, mereka pun mandi hadas. Mereka ini tertipu oleh nafsu mereka sendiri. Sesatlah mereka.
7. Golongan lbahiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini tidak menyuruh berbuat baik dan tidak melarang berbuat jahat. Sebaliknya mereka menghalalkan yang haram. Zina pun dihalalkan. Bagi mereka, semua wanita halal untuk semua lelaki. Inilah golongan yang sesat dan miskin yang meminta sedekah dari rumah ke rumah. Mereka beranggapan bahwa mereka menerima azab Allah yang hina.
8. Golongan Mutakasiliyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka mengamalkan prinsip bermalas-malasan dalam mencari nafkah. Mereka telah me- ninggalkan dunia dan keduniaan. Maka musnahlah mereka dalam kemalasan mereka sendiri.
9. Golongan Mutajahiliyyah:
Mereka berpura-pura bodoh dan berpakaian tidak senonoh dan bersikap seperti orang kafir.
Padahal Allah berfirman:
“Janganlah kamu cenderung meniru orang-orang yang zalim, kelak kamu akan di sentuh (dijilat) api neraka” (Hud: 113). Nabi pun pernah bersabda:
“Barangsiapa mencoba menyerupai sesuatu kaum, maka mereka dikira sebagai ahli kaum itu.“
10. Golongan Wafiqiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka berpendapat bahwa Allah yang mampu mengenal Allah. Dengan itu mereka tidak mau berusaha mencari hakikat atau kebenaran. Karena kebodohan mereka itu, mereka terseret ke jurang kerusakan dan kesesatan.
11. Golongan Ilhamiyyah:
Ciri-cirinya :
Mereka ini mementingkan ilham. Tidak mau menuntut ilmu dan tidak mau belajar.
Mereka berkata bahwa al-Qur’an adalah hijab bagi mereka.
Mereka menggunakan puisi karangan mereka sebagai ganti al-Qur’an.
Mereka membuang al-Qur’an dan meninggalkan ibadah shalat, dan lain-lain.
Mereka mengajarkan anak-anak mereka berpuisi sebagai ganti al-Qur’an. Maka sesatlah mereka.
Demikian banyak ajaran-ajaran sesat dari guru Sufl palsu di zaman ini, kata Sayyidi Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani QS.

Sebenarnya golongan sesat dari kaum yang mengaku dirinya Sufi itu akan terus ada di setiap masa, baik dari golongan kaum Muslimin yang melenceng dari jalan yang benar maupun dari golongan kaum kafir juga.
Adapun kaum kafir, sejak semula mereka telah tersesat dalam belenggu kekufuran. Meskipun mereka bertabiat seperti seorang Sufi, dan mereka menahan diri dari segala macam tuntutan hawa nafsu untuk bertaqarrub, namun dasar kepercayaan mereka sendiri itu telah salah dan melenceng dari jalan Allah yang sebenarnya.
Mereka seperti yang sering kita lihat pada orang-orang yang berkeperecayaan Hindu dan Buddha dan sebagainya. Sayang sekali jerih payah mereka dalam mengendalikan diri dari hawa nafsu dunia itu ditujukan untuk kepercayaan yang sesat, bukan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Allah berfirman:
“Dan siapa yang memohon kepada tuhan yang selain Allah, dia tidak mempunyai alasan apa pun tentang kepercayaannya itu, maka sesungguhnya perhitungannya nanti di sisi Tuhannya jua, sesungguhnya tiadalah beruntung orang-orang yang tidak beriman itu” (Al-Mu’minun: 117).

Sungguh menyedihkan keadaan mereka. Mereka telah bersusah payah menahan segala kenikmatan di dunia, tetapi tidak mampu memetik hasil dari jerih payahnya itu, karena apa yang mereka lakukan adalah sia-sia belaka. Sementara di akhirat mereka pun akan mendapat hukuman, siksa di dalam api neraka untuk selama-lamanya karena tidak mengikuti petunjuk yang benar.
Bagaimana dengan orang-orang yang beriman, tetapi kemudian yang tersesat jalan? Mungkin pada awalnya mereka melangkah di jalan yang benar atau berniat baik untuk tujuan Sufi. Tetapi tidak mustahil, mereka bisa tertipu dalam perjalanan kesufiannya itu, karena terpengaruh oleh hawa nafsu.
Nafsu yang akan ditentangnya ternyata berbalik muka menjadi gejala yang menentangnya. Orang yang menentang hawa nafsu itu bertujuan menghadapkan wajahnya kepada Tuhan yang dicari-Nya agar dikenali-Nya. Perlakuannya di dalam kesufian itu bukanlah bertujuan untuk mencari pangkat atau memperoleh pujian dan nama dalam masyarakat pengikutnya.
Apabila dilihatnya dirinya dihormati, para pengikutnya berkerumun mengelilinginya, dan terharulah hatinya, ia sangat senang dengan keadaan ini. Padahal, inilah penyakit, yang dalam istilah kesufian disebut Istidraj, yakni perkara-perkara yang datang sebagai cobaan dan ujian kepada seorang Sufi.
Orang yang semacam ini, memang setan senang sekali berdampingan dengannya. Dia malah lebih senang menyenderkan dirinya dengan Sufi palsu ini daripada orang yang bodoh dari liku-liku urusan agamanya. Memang mudah orang yang ‘bodoh’ itu dapat dipengaruhi dan diperdayakan oleh setan, tetapi hasilnya hanya seorang saja. Berbanding dengan Sufi palsu ini, dia mempunyai pengikut yang banyak, kalau dapat diperdayakan setan satu orang Sufi, maka Sufi itu dapat menghantar perdayaan itu kepada semua pengikutnya, kecuali orang yang diselamatkan Allah.
Setan akan berbisik kepada si Sufi palsu itu: Engkau seorang besar! Pengaruhmu sungguh mengagumkan! Sebab para pengikutmu banyak sekali, karena itu engkau jangan bimbang! Mereka tidak akan menyia-nyiakanmu. Engkaulah orang Sufi yang benar! Engkau wali, dan bukankah wali itu orang kesayangan Tuhan! Apa pedulimu kepada orang-orang bodoh yang merendahkan derajatmu. Mereka itu tidak mengerti. Masih jahil. Jahil murakkab. Engkau begini, dan begitu, dan seterusnya. Bisikan itu tidak ada akhirnya. Diberikan kepadanya Khatir-khatir, yakni lintasan-lintasan hati yang semuanya palsu dan keliru, sedang dia termakan semua umpan yang dipasangkan di dalam perangkapnya.

Itulah dia Istidraj yang selalu menimpa orang yang mengangan-angankan diri menjadi Sufi sebelum waktunya. llham yang diterimanya bukan ilham dari Allah Swt., tetapi ilham dari setan, sedang dirinya tidak tahu.
Orang Sufi palsu ini sungguh berbahaya kepada umat Islam. Dia lebih berbahaya daripada sang Sufi sesat, yang perjalanannya benar, tetapi kepercayaannya salah dan sesat. Sebab orang Sufi sesat itu, semua orang Islam telah mengenalinya dan mudah dikenali. Namun sang Sufi palsu itu akan membawa kekeliruan kepada khalayak yang tidak mengerti, atau orang yang mudah terpengaruh dengan hal-hal yang tidak asli atau tiruan. Lalu bukan saja dia yang sesat, malah dia akan menyesatkan banyak orang yang tidak berdosa, hanya salahnya karena terpengaruh dengan yang salah yang digambarkan sebagai benar,
wallahu-a’lam.

Para pemimpin dan guru-guru Sufi dari golongan Ahli Sunnah Wal-Jama’ah berpendapat bahwa para sahabat, dengan berkat ajaran dan kehadiran Nabi, adalah dalam keadaan Dzauq keruhanian yang tinggi martabatnya. Setelah zaman berlalu, keadaan keruhanian yang tulen ini makin lama makin kurang dan tipis. Kemudian keadaan keruhanian ini diwarisi oleh guru-guru mursyid yang kemudian, pecah menjadi banyak firqah dan cabang.
Oleh karena terlalu banyak firqah dan golongan kaum mursyid itu, hikmah dan tenaganya pun makin tipis dan makin berpecah-belah. Dalam banyak hal, yang tinggal hanya bentuk zahir saja yang berlagak seperti guru Sufi, padahal batinnya dan hakikatnya bukan Sufi. Lama kelamaan timbullah Sufi-Sufi palsu dan bid’ah.

Ada yang menganut golongan Haydari dan berpura-pura menjadi perwira dan pahlawan. Ada pula yang menamakan diri mereka kaum Adhami dan berpura-pura mengikuti jejak langkah Ibrahim Adham, yaitu seorang Sufi besar yang meninggalkan istana dan pangkat sultan karena hendak mengamalkan ilmu Sufi. Bahkan, masih banyak lagi ajaran sesat dari guru Sufi palsu yang timbul.
Dalam zaman ini, ahli-ahli Sufi yang sebenarnya, yang bersesuaian dengan syari’at, makin lama makin berkurangan jumlah mereka.

Pertama, zahir mereka, yaitu mereka mengamalkan syari’at.

Kedua, batin mereka, yaitu boleh dijadikan contoh teladan karena mereka mewarisi keruhanian Nabi Saw. Sebenarnya contoh manusia yang paling baik ialah Nabi Besar Muhammad Saw. Dialah sebenar-benar Sufi yang hakiki. Syari’at dan Hakikat hendaklah bersama seiring jalan untuk kesinambungan agama dalam kehidupan mukmin dan mukminah sejati.
Seorang Waliyullah yang mewarisi keruhanian Nabi akan memberi berkat kepada Si Salik dengan kehadiran fisiknya. Sesungguhnya Iblis tidak dapat menyerupai Nabi Saw.

Awas, wahai Salik, orang buta tidak boleh menunjukkan jalan pada si buta yang lain. Pandangan kita hendaklah tajam supaya kita dapat membedakan kebaikan dengan kejahatan, walau sebesar zarrah pun.

Ingatlah, bahwa perjalanan Sufi itu bukan medan permainan. Bila suka boleh ikut, bila malas boleh ditinggalkan. la adalah jalan menuju ke Hadhirat Ketuhanan, yang kepadanya tidak semudah diucapkan lisan. walaupun begitu, wajarlah ia menjadi tujuan setiap insan. Yang ingin mencari ketenangan diri dan makrifat hakikat penciptaan Tuhan. Bukankah kita disuruh menyembah-Nya menurut bunyi sebuah firman? Bagaimana boleh menyembah kalau belum sempat untuk berkenalan?
Khatir yang Datang Kepada Sufi
Khatir itu ialah lintasan-lintasan hati, atau cetusan yang muncul di hati orang Mukmin karena sesuatu sebab atau yang lain. la biasanya datang secara tiba-tiba sehingga mengharukan orang yang didatanginya. Kalau ia telah terbiasa dengan khatir- khatir seperti itu, maka perkaranya agak mudah sedikit, akan tetapi khatir yang datang sekali-sekali harus diberikan perhatian yang cukup dan dipertimbangkan dengan sehalus- halusnya agar dia tidak tertipu.
Apabila khatir itu muncul, dan hatinya kuat mengatakan, bahwa dia itu datang dari Malaikat, yakni Khatir-Al-Malak, mestilah dia bertenang lebih dahulu dan bertanya pada dirinya:

Siapa engkau ini, dan engkau datang dari mana? Mungkin tidak sukar ia akan mendengar suara hatinya menjawab: Aku ini sebagian Nubuwah, yakni pemberitahuan khusus yang datang dari Al-Haqq, yaitu Tuhan yang sebenarnya. Aku memang benar. Aku datang dari Habib (siapa yang dicintai) dan Ar-Rafiq (Rakan).

Khatir, atau bisikan hati ini akan memenuhi kebatinannya, pendengarannya dan pemandangannya. Sikap orang yang didatangi Khatir ini gemar sekali mengasingkan diri dari kumpulan orang ramai, tidak suka banyak berbicara, seperti orang sakit lagaknya.
Mukanya terlalu masyghul karena tekanan Khatir yang datang menyelubungi jiwanya itu.

Dalam keadaan yang serupa itu, orang yang tidak tahu akan mengatakan bahwa dia sedang ditimpa gangguan dalam dirinya, karena semua sifatnya berubah dan seolah-olah dia berada di tempat yang bukan tempat yang dia sedang berada itu. Tetapi sebentar lagi keadaannya akan berubah pula, dan dia kelihatan penuh perasaan tenteram dan tenang, dan sedikit demi sedikit keadaannya akan kembali pulih seperti sediakala seolah-olah tiada sesuatu yang menimpa dirinya.

Di dalam keadaan dia sedang diselubungi Khatir itu, dia kelihatan seperti orang yang terkena putau, yang kesadarannya tidak penuh. Kadang-kadang dia akan mengatakan sesuatu yang boleh didengar oleh orang yang berada di sisinya, dan kadang-kadang tidak kedengaran apa yang dikatakannya itu, seolah-olah dia sedang asyik berbicara sesuatu dengan seseorang yang berada di sisinya. Namun siapa yang mengerti semua keadaan ini kecuali orang yang sudah mengalaminya, dan orang yang mengalami hampir semuanya tidak mau menceritakannya, karena semua itu adalah rahasia-rahasia ketuhanan yang halus yang tidak boleh dibocorkan. Dan kalau diberitahukan pula, mungkin ramai orang yang tidak percaya. Mungkin dikatakan orang, dia itu terasuki jin, wallahu-a’lam.
lkhlas dalam Beramal
Berkata Syeikh Abdul Qadir al-Jailani: Sekiranya kita ikhlas dalam amalan, kita akan diceraikan dari kalangan makhluk, sehingga seolah-olahnya kita merasa jemu untuk duduk-duduk bersama mereka. Hanya dengan menceraikan diri dari makhluk, kita dapat ‘bersatu’ dengan Allah!
Memang benar sekali, pintu menuju kepada Allah itu ialah mengosongkan hati sama sekali dari urusan dengan makhluk, barulah hati itu akan lapang dan dapat dikuasai oleh hal-hal yang datang dari Tuhan tanpa terganggu. Sebab para shalihin senang sekali memunajatkan dirinya kepada Allah di waktu malam, di waktu semua orang terlelap dalam tidur yang nyenyak.
Apabila kita mengasingkan diri dari manusia, dan bergiat membuat amalan-amalan yang berupa taqarrub, maka ketika itu akan terbuka bagimu suatu pintu khusus yang menyambung dengan Hadhirat Ketuhanan.
Hati kita akan bersinar cemerlang, membawa jiwa atau ruhmu mengintip rahasia-rahasia yang halus yang akan mempengaruhi dirimu. Itulah yang dikatakan makrifat, yang menurut istilah yang lahir, bila dicarinya tidak akan ditemukan.
Tetapi apabila hati itu dibersihkan dan disucikan dari segala kekotoran keduniaan, makrifat malah datang mencarimu, dan akan didudukinya tempat di muka hati yang sudah dibersihkan itu. Sehingga memancarlah sinar cahaya yang cemerlang tadi, wallahu-a’lam.
Allah Swt. telah menjadikan hati itu tempat letaknya makrifat dan ilmu. Ilmu itu cahaya, tidak ingin duduk di tempat yang ada kotoran. Makrifat itu adalah cahaya yang cemerlang, tidak akan setempat dengan daki-daki kekotoran.
Allah Swt. menilik hati itu dalam sehari semalam sampai 360 kali, dan sekiranya Dia tidak membiarkan ilmu dan makrifat itu berdiam di hati itu, niscaya hati itu akan hancur berantakan. Tinggallah hati itu menjadi keras dan mati. Tetapi bila hati itu kembali baik dan menghampirkan dirinya kepada Allah, maka Allah akan menjadikan sungai kenikmatan mengalir dari muka hati itu.
Allah menjadikan Ahlullah itu sebagai pembela agama. Peringkat yang tertinggi di antara para makhluk ialah para Nabi dan Rasul. Di bawah peringkat itu ialah para sahabatnya, dan berikut sesudahnya ialah para tabi’in dan seterusnya tabi’ tabi’in. Mereka ini semua senantiasa patuh dan mengamalkan apa yang diperintah Tuhan. Mereka laksanakan suruhan Allah dan Rasul-Nya dengan kata dan doa, sama ketika sendirian ataupun di khalayak ramai. Itulah orang-orang yang mewarisi para Nabi.
Mereka ini sering disebut dan dibanggakan oleh Allah Swt. sebagai para hamba-Nya yang shalihin, yang setiap gerak langkahnya diiringi dengan takwa dan setia. Mereka telah membelakangi dunia dan semua urusan dunia, manakala orang lain sibuk mengejarnya dan berusaha dengan penuh daya upaya untuk mencapainya. Sebab itu dikatakan, bahwa orang yang mengejar dunia, dunia akan lari meninggalkannya. Dan siapa meninggalkan dunia, dunia akan datang mendapatkannya.
Namun begitu, bagi orang yang sudah mengenal hakikat dirinya, semua urusan dunia itu akan menjadi tipis dalam pandangannya. Dunia pada hakikatnya tidaklah bernilai, lantaran ia bukan dari jenis barang yang kekal. Sebab itu Allah telah mengatakan, sekiranya dunia itu bernilai atau berharga hanya satu sayap nyamuk, atau lalat, niscaya tidak akan diberikan-Nya kepada orang kafir. Lantaran dia tidak berharga apa pun, maka diberikan kepada orang kafir itu untuk menjadi pokok yang membinasakan. Maka apakah orang yang beriman itu, yang sudah kenal arti dan harga iman itu masih mau menjual imannya dengan harta yang tidak bernilai itu?
Itulah pokok kefahaman orang Sufi dibandingkan dengan orang biasa, maka di manakah kita berada sekarang ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar