TOKOH SUFI TANAH JAWA
Waliyullah Gunung PringKiai Haji Nahrowi Dalhar
Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali
yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. (Oleh: Nurul Huda)
Ulama Kharismatik Dari Cidahu
KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya
Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.
Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.
Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun
Datuk Kalampayan
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari
Beberapa penulis biografi Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
Riwayat masa kecil
Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 – 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.
Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada syeikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syeikh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syeikh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya
Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Karya-karyanya
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”. Syeikh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:
• Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
• Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,
• Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
• Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan
Ulama Produktif dari Patani
Syeikh Muhammad Daud Al Patani
Ulama yang satu ini merupakan salah satu yang paling produktif. Banyak karya dan bidang keilmuan Islam yang dibahasanya. Syeikh Muhammad Daud Al Patani adalah salah satu ikon keilmuan Islam bagi masyarakat Melayu pada awalabad XIX.
Dikenal sebagai salah satu ulama Nusantara yang berpengaruh dan tonggak perkembangan tasawuf di Asia Tenggara.
Selain menulis fiqh dan tauhid, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, banyak juga tulisannya tentang ilmu tasawuf. Di antara penulisan beliau dalam ilmu ini antara lain Ilmu Tasawuf (1233 H/1817 M). Di dalamnya membahas peringkat tinggi (muntahi) atau disebut dalam zaman moden dengan tasawuf falsafi. Kemudian tercatat pula kitab Kanzul Minan ‘ala Hikam Abi Madyan merupakan terjemahan dan syarah karangan Abi Madyan, dan Minhajul ‘Abidin ila Jannati Rabbil ‘Alamin yang merupakan terjemahan karangan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Sebuah lagi tasawuf peringkat tinggi (muntahi) karya Sheikh Daud bin Abdullah al- Fathani yang khusus membahas rumus-rumus ahlish shufi pada konteks Martabat Tujuh, ialah: Manhalush Shafi fi Bayani Ramzi Ahlis, tanpa dinyatakan tahun penulisan.
Walaupun Dhiyaul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid dapat diklasifikasikan ke dalam karya Ilmu Tauhid, namun juga dapat dimasukkan pada ilmu tasawuf. Sebabnya kitab ini khusus membicarakan metode zikrullah menurut Thariqat Syathariyah. Selain kitab-kitab tasawuf yang berdiri sendirinya, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani juga menulis ilmu itu pada bahagian halaman akhir kitab-kitab fiqhnya, ialah: Hidayatul Muta’allim, Al-Jawahirus Saniyah, Sullamul Mubtadi, dan Fat-hul Mannan.
Karya-karyanya
Banyak sekali hasil buah pena Syeikh DAud Al Fatani. Hingga saat ini beberapa kitabnya masih dikaji dan dipakai dalam kegiatan belajar mengajar di berbagai tempat, khususnya di Asia Tenggara. Berikut adalah karya-karyanya: Daud bin Abdullah al-Fathani bukan sahaja seorang ulama yang terkenal, tetapi juga seorang pengarang terulung di Asia Tenggara.
Bughyat al-Tullab, Al-Saidu wa al-Zabaih, Al-Bahjat al-Saniyat, Wasaya Al-Abrar Wa Mawaiz al-Akhyar, Manhalush Shafi, Munyat al-MushalliBahjat al-Mardiyat, Hidayat al-Muta’allim. Adapun dalam kesusastraan Melayu karya-karyanya antara lain Kifayat al-Muhtaj fi Bayani Isra’wa al-Mi’raj, Tarikh Patani, Maulud Nabi, tahun 8 Muharam 1230 H/1815 M, Saudagar Miskin, Al-Muswaddah, ‘Iqdat al-Jawahir, tahun 20 Safar 1245 H/1829 M, puisi nasihat yang dimuat dalam Jam’ul Fawaid, puisi terjemahan Matan Zubad yang dimuat dalam Fathul Mannan li Safwatiz Zubad, Hikayat Nabi Yunus, dimuat dalam Ward az-Zawahir, Hikayat Hasan al-Asy’ari Berhujah Dengan Jubbai, dimuat dalam Ad-Durr ats-Tsamin dan Ward az-Zawahir.
Selain itu juga karangan yang tentang manakib seperti Manaqib Saiyidina Abu Bakar Shiddiq, dimuat dalam Fathul Mannan, Manaqib Saiyidina Umar al-Faruq, dimuat dalam Fathul Mannan, Manaqib Saiyidina Uthman bin Affan, dimuat dalam Fathul Mannan, Manaqib Saiyidina Ali bin Abi Thalib, dimuat dalam Fathul Mannan, Manaqib Imam Hanafi, dimuat dalam Ward az-Zawahir dan Fathul Mannan, Manaqib Imam Maliki, dimuat dalam Ward az-Zawahir dan Fathul Mannan, Manaqib Imam Syafie, dimuat dalam Ward az-Zawahir, Bughyat at-Tullab dan Fathul Mannan,, Manaqib Imam Hanbali, dimuat dalam Ward az-Zawahir dan Fathul Mannan, Manaqib Junaid al-Baghdadi, dimuat dalam Ward az-Zawahir.
Ada juga dalam bentuk sejarah seperti, Sejarah Perang Badar, dimuat dalam Ward az-Zawahir dan Sejarah Perang Uhud, dimuat dalam Ward az-Zawahir. Kemudian ada kisa atau cerita yaitu Kisah Nabi Adam dan Hawa Dalam Syurga dan Sebab Keluar Keduanya Dari Syurga, dimuat dalam Ward az-Zawahir, Kisah Nabi Yusuf (a.s), dimuat dalam Jam’ul Fawaid, Kisah Nabi Sulaiman dan Balqis, dimuat dalam Ward az-Zawahir, Kisah Nabi Muhammad s.a.w. Membelah Bulan, dimuat dalam Ward az-Zawahir, Kisah Isra dan Mikraj Nabi Muhammad s.a.w. dimuat dalam Ward az-Zawahir dan Jam’ul Fawaid.
Karya-karya beliau yang telah ditemui, sama ada berupa manuskrip mahupun yang bercetak. Diantaranya : Kifayat al-Muhtaj, Idah al-Bab, Nahju al-Raghibin I, Ghayat al-Taqrib, Bulugh al-Maram, Ghayat al-Maram, Al-Dur al-Thamin, Tuhfat al-Raghibin II, Nahju al-Raghibin II, Masauwaddah, Kasyful Ghummah, Jam’ul Fawaaid, Minhajul ‘Abidiin, Kanzul Minan, ‘Aqidat al-Jawahir, Fathul Mannan, Jawaahirus Saniyah, Sullamul Mubtadi, Furu’ul Masail, ditulis mulai tahun 1254 H, Bahjatul Mardhiyyah, Al-Bahjatul Wardhiyah, Matnu Hikam li al-’Allamah Ibni Ruslan (bahasa Arab), Al-Tanbih (bahasa Arab).
Kemudian tercatat juga kitab seperti Kaifiyat Salat Tarawih, Fawaidul Fikri Imamil Mahdi, Qismuz Zakati Bainal Asnaf, Risalah Syathariyah wa Samaniyah, Fatwa Berjual Beli dengan Kafir, Hukum Haid dan Istihadhah, Nubzah fi Bayan Syurutil Jumu’ah, Ta’liqul Latif, As-Shaidu waz Zabaaih, kandungannya perkara binatang yang halal dan haram menurut Mazhab Syafie, Dhiyaaul Murid, ditulis sewaktu berkunjung rumah Sultan Muhammad Shafiuddin di Kampung Parit Dalam, Sambas, Indonesia, Sifat Dua Puluh, Terjemahan Bidayatul Hidayah, Bisyaratul Ikhwan, Kaifiyat Khatam al-Qur’an, Muzakaratul Ikhwaan, Risaalatus Saail, Kifayatul Mubtadi dan lain sebagainya.
Oleh: Nurul Huda
Wali Agung Dari Bogor
KH. Tubagus Muhammad Falak
KH. Tubagus Muhammad Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas Oleh kalangan
masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.
Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
KH. Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.
Secara garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan banten.
Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, pandeglang banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.
Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.
Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.
Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki. Khusus dala ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten.
Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.
Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah.
Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878
Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.
Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.
Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktititas dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah pagentongan.
Pendirian Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.
Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.
Peran beliau tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan kemantapan rakyat khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan Republik Indonesia sebagai negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan tersebut, pasukan belanda yang berada di bogor melakukan penyerangan ke Pagentongan yang mengakibatkan wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan. Setelah melakukan aksi penyerangan tersebut pasukan belanda kemudian menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan sebagian besar warga Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek. Namun atas kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad Falak yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad Falak kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.
Selama hidupnya KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat serta menjadi pusat kunjungan para tokoh politik dari kalangan sipil maupun militer dan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional serta para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang berkunjung kepada beliau untuk berbagai macam keperluan, bersilaturahmi, menuntut ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah dengan beliau. Selama hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi fungsi sosial sebagai seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode spiritual healing yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan keyakinan.
Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar
Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djat
Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.
Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak Aceng) .
Karomah KH Falak
KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak.
Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.
Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein.
Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.
Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein.
Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.
Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli.
“Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.
KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah
KH Abdullah bin Nuh
Al-Ustadz, AI-‘Aalim, AI-Adiib, Azzaahid, AI-Mutawadli’, Al-Haliim, AI-Mujahid fi Sabilillah. KHR. Abdullah bin Nuh dilahirkan di kota Cianjur pada tahun: 1324 H/ 1905 M, putera dari seorang ibu bernama Nyi Rd. H. Aisyah dan dari seorang ayah bernama KHR. Nuh.
NASABNYA
HR. Abdullah putera KHR. Nuh; putera Rd. H. Idris, putera Rd. H. Arifin, putera Rd. H. Sholeh putra, Rd.H. Muhyiddin Natapradja, putra Rd. Aria Wiratanudatar V (Dalem Muhyiddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar IV (Dalem Sabiruddin), putra Rd. Aria Wiratanudatar III (Dalem Astramanggala), putra Rd. Aria Wiratanudatar II (Dalem Wiramanggala), putra Rd. AnaWiratanudatar I (Dalem Cikundul).
CIANJUR DAN I’ANAH
Cianjur ialah sebuah kota yang sejak dahulu telah terkenal para Ulama dan para pahlawannya, Para Ulama giat menyebarkan ilmunya. Tak kenal lelah dan tanpa mengharapkan upah. Para pahlawannya gigih, berani dalam melaksanakan perjuangan, tanpa pamrih gaji. Kesemuanya hanyalah mengharapkan kendhoan Allah swt dan Rohmat-Nya.
Pada tahun 1912 dikota Cianjur berdirilah sebuah Madrasah yang bernama Al-l’anah ; pendirinya ialah juragan Rd. H. Tolhah Al Kholidi, sesepuh Cianjur pada waktu itu. Dalam pembinaannya beliau dibantu oleh seorang Cucunya AI-Haafidh (yang hafal AI Qur’an) As-Sufi (yang menguasai kitab Ihya ‘Ulumuddin) K.H.R. Nuh, seorang ‘Aalim besar keluaran Makkah Almukarromah, murid seorang ulama besar yang ilmunya barokah, menyebar keseluruh dunia Islam, yang bermukim di kota Makkah AI-Mukarromah, yaitu : K.H.R. Mukhtar Al-thoridi, putra Jawa (Bogor)
Nadhir (Guru kepala) nya waktu itu adalah Syekh Toyyib Almagrobi, dari Sudan. Bertindak sebagai pembantu (guru bantu) adalah Rd. H. Muhyiddin adik ipar Juragan Rd. H. Tolhah AI-Kholidi. Murid pertamanya adalah : Rd. H. M. Sholeh Almadani.
Syekh Toyyib Almagrobi mengajar di AI-I’anah hanya 2 (dua) tahun, karena beliau diusir oleh.pemerintah Belanda. Maka untuk mengisi kekosongan, Nadhir AI-I’anag dipegang oleh AI Ustadz Rd. Ma’mur keluaran pesantren Kresek Garut (Gudang Alfiyah) dan lulusan Jami’atul Khoer Jakarta (Gudang Bahasa Arab). Diantara murid-muridnya ialah :
1).Rd. Abdullah,2).Rd. M. Soleh Qurowi 3). Rd. M. Zen
Jari AI I’anah Almubarokah inilah muncul para pahlawan dan sastrawan Muslim yang namanya tidak akan sirna, tetap tercantum dalam lembaran sejarah, diantaranya ialah Rd. Abdullah bin Nuh. Beliau telah menguasai Bahasa Arab sejak usia 8 (delapan) tahun (penjelasan beliau sendiri sewaktu hidup kepada salah seorang muridnya).
Rd. Abdullah bin Nuh adalah juara Alfiah, beliau sanggup menghafal Al-fiah lbnu Malik dari awal sampai akhir dan dibalik dari akhir ke awwal (demikian menurut AI-Ustadz Rd. Abubakar sesepuh Cianjur). Walhasil: kecerdasan, bakat dan watak Rd. Abdullah bin Nuh semenjak duduk di bangku Madrasah AI-I’anah sudah nampak jelas keunggulannya.
Selain belajar di AI-I’anah, Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya menggali dan menimba ilmu dari ayahnya beliau. (Beliau pernah berkata kepada salah seorang muridnya : “Mama mah tiasana maca Kitab lhya teh khusus ti bapa Mama” begitu dengan logat Cianjurnya). Jadi jelas, Kota Cianjur adalah Gudang Ulama, pabrik para pahlawan dan pusat para santri. Maka tidak heran kalau kota Cianjur sejak dahulu penuh dikunjungi oleh para peminat ilmu Syari’at Islam dari seluruh pelosok Jawa Barat, dari daerah Priangan Sarat sampai ke Timur seperti : Bandung, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.[pagebreak]
PEKALONGAN DAN SYAMAILUL HUDA
Pekalongan sebuah kota kecil yang mungil, berhasil mencetak kader-kader Muslim yang militan dan berwatak, membina mental pemuda -pemuda Islam yang berjiwa pahlawan dan bercita-cita tinggi menuju Indonesia Merdeka dengan landasan Kalimatullahi Hiyal ‘Ulya.
Di kota Pekalongan telah berdiri sebuah madrasah Arabiyyah yang benama “Syamailul Huda” yang terletak di JI. Dahrian (sekarang JI. Semarang). Madrasah tersebut mempunyai sebuah internat (pondok pesantren) dipinggiran JI. Raya, ditengah-tengah keramaian manusia, bahkan tepat berhadap-hadapan dengan sebuah gedung bioskop. Nakhoda madrasah tersebut ialah seorang Sayyid keturunan Hadrol Maut bernama: Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir AI-‘Alawi Al-Hadromi. Beliau seorang ‘Alim yang berjiwa besar, bercita¬cita tinggi, berpandangan luas. Beliau tak mengenal payah dan lelah, tak ingin melihat putra-putri Islam tidak maju. Beliau bersemboyan: “sekali maju tetap maju, bekerja dengan semangat, disertai ikhlas niat, pasti dapat dengan selamat “.
Di Madrasah dan internat inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendidik, menerapkan ajaran Islam, menggemleng pemuda-pemuda yang berwatak, calon pahlawan/ Da’i/ Muballig dan Ulama.
Syamailul Huda dan internatnya, laksana Masjidil Harom dan Darul Arqom di zaman Rosulullah saw. Pemuda-pemuda didikan Rosulullah saw di Darul Arqom, kadar Islamnya kuat, keyakinannya bulat, akhlaqul karimahnya mengkilat, terlihat sinarnya memancar dari pribadi-pribadi para sahabat dikala itu, mereka berpegang teguh kepada amanah Rosulullah S.A.W
Hidup terpuji dimata masyarakat bangsa, mati syahid perlaya di medan laga membela agama Allah swt.
Pada tahun 1918 putra-putra Cianjur, murid-murid pilihan dari madrasah AI-I’anah berangkat ke Pekalongan menuju Syamailul Huda. Putra-putra pilihan itu ialah :1). Rd. Abdullah, 2). Rd.M.Zen, 3). Rd. Taefur Yusuf , 4). Rd. Asy’ari, 5). Rd.Akung, 6). Rd. M. Soleh Qurowi
Beliau-beliau inilah yang termasuk murid-murid dakhiliyyah yang bermukim di Internat (Pondok Pesantren) Syamailul Huda bersama-¬sama dengan teman-temannya yang berjumlah sekitar 30 orang (dari Ambon, Menado, Surabaya, Singapura, dan Malaysia/ daratan Malaka). Sahabat karib Rd. Abdullah bin Nuh pada waktu itu, yang masih ada sekarang, ialah yang telah penulis temui ditempat kediamannya JI. Surabaya No. 69 Pekalongan, Al Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits (kelahiran Ambon). Beliau lebih tua usianya dan Rd. Abdullah bin Nuh, beliau dilahirkan di Ambon pada tahun 1904 (waktu di Syamailul Huda Rd. Abdullah bin Nuh kelas 3, AI Ustadz Said kelas 4).
Sewaktu penulis menemui beliau, banyak sekali kata-kata mutiara yang diucapkannya. Beliau memulai percakapan dengan kata-kata: “Waktu saya berziarah ke rumah Abdullah kebetulan waktu sholat Maghrib, saya tahu persis keadaan dalam rumahnya, hanya dua kamar yang sempit dan satu kamar mandi yang darurat. Padahal kalau melihat ilmunya, dan banyak murid-muridnya, dia itu orang besar, sudah tidak sesuai lagi. Tidak seperti orang-orang besar sekarang mobil-mobil banyak, gedung-gedungnya mewah, dengan rumah saya saja sudah jauh berbeda “(rumah AI Ustadz Said itu gedung dan besar sekali).
Beliau (AI Ustadz Said) melanjutkan dengan ucapan beliau: “Maka dari gambaran suasana rumahnya yang sangat sederhana itu, Masya Allah – Masya Allah – Masya Allah, Abdullah sedang syugul lillahi Ta’ala, dia AZ-Zaahid”
1. Inilah Ulama, ini waktu, mencari seperti itu tidak ada ;
2. Abdullah tetap Abdullah sebagai Kiyai ;
3. Ini hidup yang benar ;
4. Ini thoriq (jalan) yang benar ;
5. Abdullah saudara saya betul Amanat-amanat beliau kepada putra-putri AI-Ustadz Abdullah bin Nuh: 1). Berjalanlah menurut Abdullah bin Nuh ; 2). Ana ad’uu lahum (Aku berdoa untuk mereka); 3).Panggillah saya ‘aamii (anggaplah orang-tuanya) ; 4). Salam dari saya kepada keluarga Abdullah ; 5). Dan minta foto Abdullah setetah mendekat wafat
AI Ustadz Said bin Ahmad Bahuwairits memberi julukan kepada Rd. Abdullah bin Nuh dengan julukan: 1). Al Ustadz ; 2). AI-‘Aalim ; 3). Al-Adiib ; 4). Azzahid ; 5). Al-Mutawadli’ ; 6). AI-Haliim. Lalu penulis menambahkan dengan “Al-Mujahid fii Sabilillah’,beliau mengiyakan.
Madrasah Syamailul Huda ialah Samudra tempat menimba tinta mas Ilmu Ilahi. Internatnya laksana ladang tempat mendulang berlian llmu Agama Allah swt. Maka tidak sedikit pentolan-pentolan Ulama dan pahlawan yang dihasilkan dari Madrasah tersebut. Diantaranya yang berhasil dengan gemilang dan menonjol sekali Rd. Abdullah bin Nuh, putra Cianjur, sehingga beliau menjadi kesayangan gurunya.
Rd. Abdullah bin Nuh sewaktu duduk di kelas 4 kelas terakhir Syamailul Huda, telah turut aktif mengaji bersama-sama dengan para guru Madrasah tersebut. Jadi Rd. Abdullah bin Nuh sudah lebih dahulu maju dari teman-teman kakak kelasnya.[pagebreak]
SURABAYA DAN HADROL MAUT SCHOOLNYA
Kota Surabaya ialah kota yang terkenal arek-areknya di zaman revolusi fisik dan jadi kebanggaan masyarakat Surabaya para patriotnya, dari kota 19 sampai kedesa-desa. Kira-kira pada akhir tahun 1922 AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim pindah ke Surabaya ; Rd. Abdullah bin Nuh dibawa dan dikembangkan bakatnya.
Di kota Surabaya pada waktu itu ada sebuah gedung besar dan tinggi letaknya dekat jembatan besar di Jln. Darmokali (dulu Noyo Tangsi). Penulis melihat dimuka gedung itu sebelah atas ada tulisan tahun 1914 waktu didirikannya. Di gedung inilah Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan sekolah “Hadrolmaut School” untuk menyebar Ilmunya dan melatih anak-anak didik yang dibawanya dari Pekalongan, dalam rangka mengembangkan bakat dan penampilan kemampu§n anak-anak didiknya tersebut.
Hadrolmaut Shool di Surabaya laksana Masjid Quba di Madinah sewaktu Rosulullah saw mulai menginjakkan kakinya dibumi Madinatul Munawwaroh: Tempat Rosulullah saw, mempersaudarakan ummat yang berbeda-beda bakat dan adat istiadat, tempat mempersatukan kaum Muslimin yang bermacam-macam faham dan pendapatnya, tempat Rosulullah saw mengatur siasat; bermasyarakat dan lain-lain.
Gedung “Hadrolmaut School” ialah tempat Rd. Abdullah bin Nuh dan teman-temannya dididik, dibina, digembleng cara praktek mengajar, berpidato, memimpin dan lain-lain yang dipertukan.
Rd. Abdullah bin Nuh disamping diperbantukan mengajar disekolah tersebut, beliau tidak henti-hentinya menyerap dan menerima bermacam-macam ilmu Agama dan Umum, mempelajari beraneka ragam bahasa dari gurunya. Demikianlah keadaan Rd. Abdullah bin Nuh di kota Surabaya, beliau berjiwa arek-arek Suroboyo yang paling lincah berjuang. Dengan ilmunya yang mendalam, jiwa yang suci dan kemauannya yang kuat, maka beliau terpilih sebagai siswa yang akan dibawa ke Mesir oleh gurunya besama-sama dengan teman-temannya, sebanyak 15 orang.
Teman Rd. Abdulah bin Nuh yang bersama-sama belajar di Mesir yang masih ada di Kota Surabaya sekarang, ialah AI-Ustadz Abdul Razak AI-‘Amudi di kompleks IAIN Wonocolo. Beliaulah yang menyandang gelar: Syahadatul Aalimiyah dari “Jami’atul Azhar” dan Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya dari Madrasah Darul ‘Ulumul ‘Ulya.
Waktu penulis menemui beliau ditempat kediamannya, beliau berkata : “AI-Ustadz Abdul Rozaq, tetapi AI-Ustadz Abdullah bin Nuh lebih mendalam”.
MESIR DAN AL-AZHARNYA
Bertepatan dengan didudukinya Kota Makkah AL-Mukarromah oleh kaum Wahabiyyin dan keluarnya Malik Husen meninggalkan Makkah pada tahun 1343 H (_+ tahun 1925 M), AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama sama teman-temannya yang 15 orang itu dibawa gurunya ke Mesir untuk melanjutkan pelajarannya. Perguruan Tinggi di Mesir pada waktu itu hanya dua : 1. Jami’atul Azhar ( Syari’ah ) :Lama belajar 6 tahun mendapat gelar : Syahadatul ‘Alimiyah. Lama belajar 3 tahun mendapat gelar : Syahadatul Ahliyyah. 2. Madrasah Darul’ Ulum AI-‘Ulya (AI-Adaab)
Lama belajar 4 tahun mendapat gelar: Deblum Daril ‘Ulumil ‘Ulya Syarat-syarat masuk Jami’atul Azhar diantaranya harus hafal AI-Qur’an 30 Juz. Tetapi murid-murid yang dibawa oleh AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim yang 15 orang itu mendapat prioritas diterima dengan hafal beberapa surat. Pengecualian ini menunjukkan kebesaran dan keberkahan murid-murid AI-Ustadz Sayyid Muhammad bin Hasyim. AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh bersama-sama dengan teman-temannya mula-mula bertempat tinggal di Syari’ul Hilmiyyah, lalu berpindah ke Syari’ul Bi’tsah Bi Midanil Abbasiyah. Pelayannya orang-orang Yaman.
Siang dan malam AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh tidak henti-hentinya belajar. Waktu adalah betul-betul berharga bagi betiau. Keluar dari Jami’atul Azhar beliau pulang hanya mengganti pakaian, memakai pantalon, berdasi dan memakai torbus, terus mengikuti pengajian-pengajian di luar AI-Azhar. Mahasiswa AI-Azhar mempunyai ciri khas ialah berjubah dan bersorban dibalutkan dikepala (udeng).
AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh di Mesir sudah tidak mempelajari bahasa Arab lagi, karena beliau ketika masih di Indonesia sudah benar-benar pandai dan ahli, mengusai berbagai bahasa. Beliau di Mesir hanya belajar fak Fiqih (ini menurut cerita beliau kepada salah seorang muridnya, katanya dalam bahasa Sunda Mama mah di Mesir teh mung diajar ilmu fiqih wungkul”. Selanjutnya beliau bertanya: “Dupi salira kitab-kitab fiqih naon anu parantos diaos? Dijawab oleh muridnya dengan menyebutkan beberapa kitab Fiqih. Setelah sampai menyebut kitab Iqna, maka beliau berkata: “Mama mah tamatna Iqna teh di Mesir, ari salira mah tamat Iqna teh di Indonesia.”
Dengan berkah ketekunan dan kesungguh-sungguhan, maka AI-Ustadz Abdullah bin Nuh di Mesir telah kelihatan sebagai seorang Pelajar yang paling cakap di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. AI-Ustadz Abdur Rozzaq berpendapat: “Sebabnya Abdullah itu mempunyai kelainan daripada teman-¬temanya yang semasa, karena dia mendapatkan banyak ilmu dari hasil muthola’ah. Muthola’ah satu kitab saja sampai 10 kali. Inilah syarat muthola’ah kata AI-Ustadz Abdullah bin Nuh. Diantara kitab yang didawamkan muthola’ah : ialah kitab : ARAB 2
AI-Ustadz Abdullah bin Nuh belajar di Mesir hanya selama dua tahun, dikarenakan putra gurunya yang beliau temani tidak merasa betah dan gurunya pulang ke Hadrolmaut, maka AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pun pulang ke Indonesia. Inilah riwayat hidup singkat beliau masa belajar/ tholabul’ilmi atau masantren.[pagebreak]
MADRASAH P.S.A.
Pada tahun 1927 AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh pulang dari Mesir ke Indonesia (Cianjur. Pada akhir tahun 1927 pergi ke Bogor (Ciwaringin). Beliau mengajar: 1. Di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama Ajengan Rd. Haji Manshur.2.Para Mu’allim yang berada di sekitar Bogor.
Pada awal tahun 1928 beliau pindah ke Semarang tetapi tidak lama yaitu hanya 2 (dua) bulan, kemudian kembali ke Bogor. Lalu pulang lagi ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau adalah: 1. Mengajar para kyai. 2.Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pada tahun 1934 di Bogor (di Ciwaringin) didirikan Madrasah P.S.A. (Penolong Sekolah Agama). Maksud didirkannya PSA adalah untuk mempersatukan madrasah-madrasah yang ada di sekitar Bogor yang berada di bawah asuhan Mama Ajengan Rd. H. Manshur.
Susunan Pengurus P.S.A. ialah :Ketua, Mama Ajengan Rd. H. Mansur, Sekretaris M.B. Nurdin (Marah Bagindo), Inspektur K. Usman Perak. Ketua Dewan Guru/ Direktur. AI-Ustadz Rd.H.Abdullah bin Nuh, Pembantu/ Sekretaris Rd. Ali Basah
Selain memimpin madrasah-madrasah, juga AI-Ustadz mengajar di MULO (SLTP). Pada tahun 1939 Madrasah P.S.A, pindah ke jalan Bioskop (JI, Mayor Oking, yang sekarang dipakai Mesjid)
Dari tahun 1939 s.d 1942 beliau tetap bertempat tinggal di Panaragan dan setiap hari mengajar ngaji para Kyai. Walaupun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh ilmunya telah begitu banyak, tetapi selama di Bogor beliau masih terus menambah ilmunya dari seorang ulama (Mufti Malaya) yaitu Sayyid ‘Ali bin Thohir.
PETA
Sejarah mencatat bahwa PETA lahir pada bulan Nopember 1943, lalu diikuti lahirnya HIZBULLAH beberapa minggu kemudian di mana para alim ulama kemudian masuk menjadi anggota organisasi itu. Tahun 1943 tersebut benar benar merupakan tahun penderitaan yang amat berat khususnya bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Boleh dikatakan bahwa saat itu adalah merupakan salah satu ujian paling berat bagi bangsa Indonesia. Pada akhir tahun 1943 itulah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh masuk PETA dengan pangkat DAIDANCO yang berasrama di Semplak Bogor.
Lalu pulang lagi ke Cianjur dan beliau membantu (jadi guru bantu) mengajar di AI-I’anah, waktu itu nadhirnya AI-Ustadz Rd. H.M. Sholeh AI-Madani (sekitar tahun 1930). Setelah itu beliau pergi lagi ke Bogor kedua kalinya dan bertempat tinggal di Panaragan. Pekerjaan beliau adalah: 1. Mengajar para kyai. 2. Jadi korektor Percetakan IHTIAR (Inventaris S.I.)
Pemimpin-pemimpin umat ini, para alim ulama di sana-sini ditangkap oleh Dai Nippon, diantaranya Hadlorotnya Syekh Hasyim Asy’ari pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Beliau dipenjarakan di Bubutan, Surabaya. Di Jawa Barat perlakuan serupa dilakukan terhadap KH. Zainal Mustofa, Tasikmalaya, bahkan sampai gugurnya karena di siksa Dai Nippon. Beliau adalah Pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya.
Tanggal 6 Agustus 1945 senjata dahsyat bom atom dijatuhkan Amerika Serikat di atas kota Hiroshima, disusul kemudian tanggal 9 Agustus born atom gelombang kedua dijatuhkan pula di atas Nagasaki. Sekutu mengumandangkan kemenangannya. Bangsa Indonesia saat itu sangat optimis dengan tekuk lututnya Jepang terhadap sekutu. Ternyata pada tanggal 17 Agustus 1945 beberapa hari setelah pemboman terhadap kedua kota itu kita bangsa Indonesia memperoleh hikmah, yaitu kemerdekaan yang diperoklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apakah ini bukan rohmat dari Allah swt ?
Cobaan demi cobaan telah dan akan selalu kita hadapi. Pada tanggal 19 September 1945 di Surabaya terjadi peristiwa besar yang merupakan titik awal yang menyulut semangat kepahlawanan rakyat Surabaya. Beberapa personil Belanda yang saat itu membonceng sekutu berhasil menyamar sebagai Missi Sekutu mengibarkan bendera merah putih biru di Hotel Yamato, Tunjungan Surabaya. Kemudian personil Belanda lainnya setelah tiba di Tanjung Priok merayap keseluruh pelosok Jawa di antaranya ke Bandung, Yogya, Magelang dan Surabaya. ini merupakan tantangan berat lagi bagi bangsa Indonesia. Namun demikian rakyat tiada mengenal mundur atau menyerah.
Begitu pula AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh terus melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan memimpin barisan Hizbutlah dan BKRI TKR di kota Cianjur bersama-sama dengan barisan lainnya hingga pertengahan tahun 1945.
Pada tanggal 21 Romadhon 1363 H/ 29 Agustus 1945 M, di Jakarta dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNlP) dan sekaligus melangsungkan sidang pertamanya. Ketua KNIP ditetapkan Mr. Kasman Singodimedjo, salah seorang bakes Daidanco PETA Jakarta. Anggota KNIP diantaranya adalah AI-¬Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh. Pada tanggal 4 Juni 1946 Pemerintahan R.I. pindah ke Jogyakarta.[pagebreak]
JOGYAKARTA DAN P.T.I. NYA (SEKARANG UII)
Yogyakarta adalah sebuah kota kecil yang mendadak menjadi ibukota Repbulik Indonesia dan pusat segala kegiatan politik. Semenjak awal 1946, situasi politik terus meningkat dan ketegangan serta pergolakan terjadi di mana-mana. Jogyakarta amat berat memikul beban nasional di atas pundaknya. Namun AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh adalah benar-benar seorang ulama pejuang yang pandai membagi waktu. Walaupun tugas beliau sangat berat, sebagai tentara yang mewakili Jawa Barat dan anggota KNIP lainnya, namun beliau masih sempat mendirikan RRI Jogyakarta siaran Bahasa Arab dan kemudian mendirikan STI (Sekolah Tinggi Islam/ UII) bersama dengan KH. Abdul Kohar Muzakkir.
Yang lebih unik lagi ialah tidak melupakan tugas kekiyaian, yaitu mengajar ngaji. Hasil didikan beliau waktu di Jogyakarta diantaranya adalah Ibu Mursyidah dan AI-Ustadz Basyori Alwi, yang telah berhasil membuka Pesantren yang megah di JI. Singosari No.90 dekat kota Malang, dan banyak lagi Asatidz tempaan beliau.
Pada bulan Desember 1948 Jogyakarta bezet (diduduki tentara Belanda). Tentara RI mundur dari kota Jogya dan terjadilah perang gerilya selama 6 bulan, mulai dari Desember 1948 s.d. Juni 1949. Perang gerilya ini dilakukan pula oleh para pejabat, walaupun dia itu adalah seorang Menteri.
Pada bulan Juni itulah (tepatnya tanggal 5) AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh menikah dengan Ibu Mursyidah, salah seorang puteri didiknya yang telah disebut tadi.
Tanggal 29 Juni 1949 setelah tentara Belanda meninggalkan Jogyakarta, pasukan Republik Indonesia yang sedang bergerilya bersama rakyat masuk kembali ke Jogyakarta. Itu berarti bahwa, Jogyakarta kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia.
Sejarah pertama kali mencatat, yaitu tanggai 17 Desember 1946, Bung Karno dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat dengan mengambil tempat di Kraton Jogyakarta. Kemudian diakhir tahun 1949 Pemerintah RI pindah ke Jakarta, dan saat itu pulalah AI-Ustadz Rd. H. Abdullah bin Nuh bersama ibu Mursyidah (isterinya) hijrah ke Jakarta.
JAKARTA DAN UI-NYA
Setelah melalui liku-liku hidup dan mengarungi pasang surutnya gelombang perjuangan, keluarga AI-Ustadz Rd. Abdullah bin Nuh menetap di Jakarta selama lebih kurang 20 tahun, yaitu mulai tahun 1950 s.d. 1970, Di Jakarta inilah beliau menjadikan ibukota sebagai arena pengabdiannya kepada Allah swt dan kepada hamba-Nya. Beliau mengajar ngaji para asatidz/ Mu’allimin, memimpin Majlis-majlis Ta’lim, menjabat sebagai Kepala Seksi Bahasa Arab pada Studio RRI Pusat. Selain itu juga aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Board). Kemudian pernah pula menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian Sastra Arab, pemimpin Majalah Pembina dan Ketua Lembaga Penyelidikan Islam.
Di samping itu pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Kota Bogor, beliau telah aktif memimpin pengajian-pengajian di Bogor, yaitu :1. Majlis Ta’lim Sukaraja (AI-Ustadz Rd. Hidayat) 2. Majlis Ta’fim Babakan Sirna (AI-Ustadz Rd. Hasan) 3. Majlis Ta’lim Gang Ardio (KH. Ilyas) 4. Majlis Ta’lim Kebon Kopi (Mu’allim Hamim)
Dan akhirnya pada tanggal 20 Mei 1970 Mama hijrah dari Jakarta ke Bogor.
MAMA DAN “AL-GHAZALY”
YIC “AI-Ghazaly” ialah Pusat Pendidikan Islam (Pesantren, Majlis Ta’lim, sekolah umum dan madrasah Diniyah).
“AI-Ghazaly” sudah tidak asing lagi bagi Ummat Islam warga Bogor. YIC “AI-Ghazaly” memiliki empat lokasi yaitu: AG I di Kotaparis , AG II di Cimanggu (H. Firdaus), AG III di Cimanggu Perikanan dan AG IV di Cibogor.
YIC “AI-Ghazaly” adalah Mazro’atul Akhiroh (ladang akherat) Mama. Tempat Mama memberikan pelajaran kepada para Ustadz dan kyai-kyai yang berada di sekitar Bogor, bahkan ada pula yang datang dari Jakarta, Cianjur, Bandung dan Sukabumi.
Majlis-majlis Ta’lim yang ada dalam asuhan Mama adalah : AI-Ghazaly (Kotaparis) AI-Ihya(Batu Tapak) AI-Husna (Layungsari) Nurul Imdad (Babakan Fakultas, belakang IPB) Nahjussalam (Sukaraja).
Kesemuanya itu adalah tempat pengabdian Mama setelah usianya lanjut. Bagi Mama tiada hari tanpa kuliah shubuh. Kegiatan rutin setiap minggunya adalah hari Senin s.d. Kamis di Majlis Ta’lim AI-Ihya, Jum’at s.d. Ahad di AI-Ghazaly, sedangkan Ahad siang (ba’da dzuhur) di Nahjussalam Sukaraja.
Selain itu, Mama juga mengadakan pengajian khusus untuk para pemuda dan pelajar, mahasiswa/ mahasiswi. Demikian kegiatan Mama di “AI-Ghazaly” yang tidak mengenal istirahat.
[pagebreak]
MAMA DAN “NAHJUSSALAM”
Nahjus Salam ialah Pesantren idaman Mama yang belum terlaksana dengan sempurna dan tentunya.wajib kita tanjutkan sampai tuntas. Jauh sebelum merencanakan “Nahjus Salam”, Mama pernah mengutarakan keinginannya kepada salah seorang muridnya: “Mama ingin sekali punya Pesantren”. Kemudian muridnya itu bertanya: “Didaerah mana Mama ingin mendirikan Pesantren itu? Di Bogor Timur, Ciluar atau di Cianjur?” Mama menjawab: Di Sukaraja. Muridnya masih penasaran, kemudian melanjutkan pertanyaannya: “Kenapa ingin di Sukaraja?” Beliau menjawab:
- Ingin dekat dengan makam eyang Mama (Kanjeng Dalem)
- Melaksanakan amanat Mama Ajengan Manshur (Bilamana Mama Ajengan Manshur wafat, harus diteruskan oleh beliau).
- Ingin istirahat total
Maka pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram 1404 H, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1983, dimulailah pembangunan fisik Pesantren Nahjus Salam yang diprakarsai oleh para putera Almarhum Rd. H. Jamhur Ciwaringin Tanah Sewa beserta sesepuh dan warga Sukaraja AI-Ustadz Hasanuddin. Bangunan Pesantren tersebut selesai pada akhir bulan Rajab tahun itu juga. Peresmian yang langsung diisi oleh Mama dilaksanakan hari Jum’at tanggal 25 Rajab 1404 H/ 27 April 1984, dan hari Ahad tanggal 12-Sya’ban (lebih kurang 2 minggu setelah peresmian) dimulai pengajian di Nahjus Salam.
Keinginan Mama selalu terkabul, sukses dan Barokah. Maunahnya mutai nampak dan terlihat oleh khalayak ramai. Padahal menurut penulis setelah mengamati dan selalu memperhatikan gerak-geriknya, Mama memiliki keutamaan (kelebihan) ilmu, dan maunahnya telah terlihat dan terasa sejak Mama mulai menetap di Bogor. Pernah penulis alami ketika pada suatu kejadian yang membuktikan tentang itu.
Kira-kira tahun 1973 Mama bersama penulis berziarah kepada seorang kyai yang telah dianggap wali oleh para Ulama yang tahu tentang keadaan kyai itu. Ada tiga keanehan menurut penulis yang sangat mencolok pada pribadi Mama saat itu: Pertama: Bukan Mama yang masuk ke kamar Kyai yang sedang sakit berat itu, tetapi justru kyailah yang datang menemui Mama di ruang tamu. Kedua: Mama memohon di do’akan oleh Kyai itu, tetapi keadaan sebaliknya yang terjadi, yakni Kyailah yang meminta di do’akan. Akhirnya Mama-lah yang berdo’a. Kyai bersama penulis mengamini.Ketiga: Ketika Mama permisi, kyai itu mengantarkan sampai ke pintu gerbang pekarangan rumahnya, sedangkan Kyai itu tidak pernah melakukannya terhadap siapapun.
Dengan ketiga hal yang menurut penulis mengandung keanehan itu, membuktikan bahwa derajat Mama sudah lain dari pada yang lain. Obrolan Mama mengenai “ingin istirahat total” ini merupakan isyarat bahwa kepulangan Mama ke Rahmatullah telah mendekat. Karena hanya wafatnya hamba kekasih Allahlah yang termasuk dan boleh dikatakan “Istirahat Total”. Permohonan Mama ingin istirahat total dikabulkan oleh Allah swt.
Pada hari senin malam selasa, jam 19.15 WIB ba’da Isya, tanggal 26 Oktober 1987 bertepatan dengan tanggal 4 Robi’ul Awwal 1408 H beliau pulang ke Rahmatullah. “Innaa Lillaahi wa Inna Ilaihi Rooji’uuna”. Thoriqoh Mama ada tiga: 1. Mengajar2. Muthola’ah 3. Mengarang.
Di mana saja Mama tinggal, Mama betah, asal Mama bisa menjalankan yang tiga itu dengan tenang. Jadi jelaslah, pindahnya Mama dan satu daerah ke daerah lain adalah termasuk : yang mudah-mudahan pulangnya Mama ke Rahmatullah pun demikian adanya, hijrah kepada keridhoan Allah swt. Amin …[pagebreak]
AMANAHNYA
Di dalam mengarungi dunia yang penuh dengan godaan dan sarat dengan fitnah, Mama memberikan amanah kepada penulis tentang cara menghadapi manusia-manusia di abad modern ini, yaitu harus berpendirian.
Khumul = Tidak ternama
Malamih = Manampakkan roman muka Tawakal kepada Allah swt.
Insya Allah selamat dari godaan dan fitnah.
AHLUL BAIT MAMA
Ibu Cianjur dan putra-putrinya: Ibu Cianjur adalah Almarhumah Ny. Rd. Mariyah (Ibu Nenden‘ Putra-putrinya adalah :
1. Rd. Ahmad (Tanggerang) 2. Rd. Wasilah (Tanggerang). 3. Rd. Hj. Romlah (Kotaparis, Bogor) 4. Rd. Hilal (Sukaraja, Bogor), 5. Rd. Hamid (Australia) Ibu Bogor dan putra-putrinya :
Ibu Bogor adalah Dra. Hj. Mursyidah (Ummul Ghazaliyyin), Putra-putrinya adalah :
1. Rd. Aminah (almarhumah) 2. Rd. Aisyah (almarhumah) 3. Rd. Hj. Mariyam 4. Rd. Zahro (almarhumah) 5. Rd. Zulfa 6. Rd. H. Toto Mustofa
Mama telah pulang ke Rahmatullah Akan menerima keridhoan Allah Kita yang ditinggalkan Wajib melanjutkan Amanat Mama kita laksanakan Thoriqoh Mama kita jalankanMudah-mudahan riwayat hidup Mama yang ringkas ini menjadi cermin untuk kita semuanya kaum muslimin-muslimat, baik tua maupun muda. Amin …
Karya-karya tulis K.H.R. Abdullah bin Nuh
I. Karya-karya tulis dengan bahasa Indonesia yang berbentuk buku diantaranya, yaitu:
1.1 Al-Islam
1.2 Islam dan Materialisme
1.3 Islam dan Komunisme
1.4 Islam dan Pembahasan .,
1.5 Keutamaan Keluarga Rosulullah
1.6 Islam dan Dunia Modern
1.7 Risalah As-Syuro
1.8 Ringkasan Sejarah Wali Songo
1.9 Riwayat Hidup Imam Ahmad Muhajir
1.10 Sejarah – Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten
1.11 Pembahasan Tentang Ketuhanan
1.12 Wanita Dalam Islam
1.13 Zakat dan Dunia Modern
II. Karya-karya tulis dengan Bahasa Arab yaitu berbentuk natsar (karangan bebas) dan syi’ir (puisi).
2.1 Dalam bentuk natsar (yang berbentuk buku) diantaranya berjudul:
Selain mengarang K.H.R. Abdullah bin Nuh juga menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Kitab-kitab yang beliau terjemahkan kebanyakan karangan Imam AI-Ghazaly yang beliau kagumi.
Diantara terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia adalah:
1. Renungan; 2. O’Anak; 3. Pembebasan dari Kesesatan; 4. Cinta dan Bahagia; 5. Menuju Mukmin Sejati (Minhajul-Abidin, karangan terakhir imam Ghazaly.
Adapun yang beliau terjemahkan ke dalam bahasa Sunda diantaranya berjudul: 1. Akhlaq; 2. Dzikir
Sebagai seorang Ahli bahasa Arab, K.H.R. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry, diantara kamusnya adalah:
- Kamus Arab – Indonesia;
- Kamus Indonesia – Arab – Inggris;
- Kamus Inggris – Arab – Indonesia;
- Kamus Arab – Indonesia – Inggris;
- Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan: – diplomatik politik- ekonomi
Syeikh Burhanuddin Ulakan
dikenal sebagai mursyid tarekat Syathariyah. Ia penggagas munculnya surau di Minangkabau
Tiap bulan safar di Pariaman digelar upacara besar-besaran. Namanya Basapa.Ritual ini menurut Siddi Gazalba
adalah ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ulama ini dikenal sebagai salah seorang penyebar tarekat Syatariyyah dan Islam di wilayah Sumatera Barat.
Ziarah ini biasanya diselengga-rakan pada tanggal 10 safar dan diikuti oleh puluhan ribu peziarah.
Ziarah ke makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman merupakan aktivitas kaum Syatta-riyah yang sarat dengan unsur musikal. Bentuk-bentuk amalan ibadah yang mengandung unsur-unsur musikal ini sekaligus juga dilakukan dalam aktivitas ibadah ritual keagamaan yang berlaku umum bagi masyarakat penganut aliran tarekat Syattariyah di Nagari Pitalah Bungo Tanjung seperti “Barzanji”, “manamat”, “Baratik”, dan “Badoa”.
Syeikh Burhanuddin lahir bernama asli Pono. Tempat kelahirannya tidak banyak catatan.
KH Sirajuddin Abbas mengatakan Syeikh Burhanuddin berasal dari suku Guci. Hal ini didasarkan pada Cukuik yang berasal dari suku Guci. Ayahnya bernama Pampak dari suku Koto. Masa kecilnya bisa dikatakan belum mengenal agama. Konon ayahnya beragama Budha.
Kesukaannya berdagang Batang Bengkawas. Kehidupan Syeikh Burhanuddin bisa dibilang penuh liku. Sejak kecil hidup berpindah-pindah. Ia mengikuti ayahnya ke Sintuk. Di kota ini ia mendapat julukan datuk Sati. Keluarga Pampak diberi sebuah lahan oleh ninik mamak setempat. Kemudian Pono pergi merantau ke Tapakis untuk berguru dengan Syeikh Yahyuddin yang mendapat gelar Syeikh Madinah.
Setelah selesai ia kembali lagi ke kampungnya. Bagaimanapun Pono tetap melaksanakan tugas dakwah yang akibatnya tentangan semakin menjadi-jadi.
Maka akhirnya pihak yang tidak menyukai kegiatan itu mengusir dan mengancam untuk membunuh Pono.
Pada saat kritis pergi ke gurunya Syeikh Yahyuddin. Atas saran gurunya, Pono kemudian pergi ke Aceh untuk berlajar pada Syeikh Abdul Rauf Al-Singkil. Bersama empat orang rekannya, yaitu Datuk Maruhun dari Padang Ganting Batusangkar, Terapang (Kubang Tiga Baleh Solok), Muhammad Nasir (Koto Tengah Padang) serta Buyung Mudo (Tarusan) berangkat ke Aceh Di bumi Serambi Mekah ini, Pono berjumpa dengan Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Ada versi yang mengatakan mulanya ia tidak berhasrat untuk mencari ilmu pada syeikh Hamzan Fansuri. Mata batinnya melihat Pono berbakat untuk menjadi ulama besar. Maka selama 13 tahun Pono digembleng oleh Syeikh Abdurrauf al Fansuri.
Pono semasa nyantri dikenal sebagai seorang yang sangat tunduk pada guru. Ada satu cacatan mengenai hal ini. Pada suatu hari gurunya mengunyah sirih. Tiba-tiba tempat kapur sirihnya jatuh kedalam kakus. Padahal kakus tersebut dalam dan telah dipakai berpuluh-puluh tahun. Gurunya kemudian berkata,” Siapa diantara kalian sebanyak ini yang sudi membersihkan kakus itu sebersih-bersihnya? Dan siapa pula yang mau mengambil tempat sirih saya yang terjatuh di dalamnya?”
Murid-murid banyak yang merasa enggan. Tapi lain halnya dengan Pono. Ia justru berjam-jam membersihkan kakus tersebut dan mendapatkan tempat sirih gurunya. Melihat kerja keras sang muridnya, gurunya berdoa panjang sekali. Setelah selesai gurunya berkata,” Tanganmu akan dicium oleh raja-raja, penghulu-penghulu dan orang besar se antero negeri. Muridmu tidak akan terputus-putus sampai akhir zaman, dan ilmu kamu yang akan membekati dunia. Maka aku namai kamu Saidi Syeikh Burhanuddin.”
Setelah dirasa cukup, Pono yang kemudian tenar dengan nama Burhanuddin ingin pulang ke kampungnya. Sebelum meninggalkan pesantren, gurunya berpesan, Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah. Kalau kamu tetap kasih, takut , malu kepadaku nanti kamu akan mendapatkan hikmah.
Dan apabila orang telah diberi ilmu hikmah, maka terbuka rahasia Allah, dan berbahagialah orang itu dunia akhirat.”
Menurut Hamka, Syeikh Burhanudddin kembali pada tahun1680 M. Kegiatan dakwah yang dijalankan tidak bertahan lama.
Banyak tantangan yang dihadapi, terutama oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan ada yang berusaha menghentikan dakwahnya. Pada abad ke-17, Burhanuddin, pemuda Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, nyantri ke Syekh Abdurrauf Al-Singkili, Aceh.
Ia lalu kembali ke kampung mendirikan langgar. Ini, menurut guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Profesor Azyumardi Azra, merupakan surau pertama di Sumatera Barat yang penuh muatan keilmuan (Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta, 2003)
Syeikh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya.
Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar.
Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua.
Metoda Baru
Burhanudddin pulang ke Ulakan mendirikan surau di tanjung Medan.
Berkat ketekunannya, ia berhasil ajaran agama di Sumatra bagian tengah. Pengaruhnya paling besar ada di masyarakat pedalaman.
Syeikh Burhanudddin di kenal sebagai penganut tarekat Syatariyah. Tapi ia juga disegani oleh tokoh dan pengikut rakat lain seperti tarekat Naqsyahbandiyah, Samaniyah dan qadiriyah. Bahkan tidak sedikit yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu agama yang mereka miliki merupakan hasil tuntunan syeikh Burhanuddin.
Dalam usaha meresapkan ajaran Islam, terutama ditujukan kepada kanak-kanak yang masih dalam keadaan ‘bersih’ dan mudah dipengaruhi. Jumlah mereka yang belajar agama Islam semakin bertambah banyak. Pondok tempat yseikh Burhanuddin mengajar penuh sesak.
Pengaruh Syeikh Burhanuddin terus meluas dengan mendapat sambutan di Gadur Pakandangan, Sicincin, Kepala Hilalang, Guguk Kayu Tanam terus ke Pariangan, Padang Panjang dan akhirnya sampai ke Basa Ampek Balai dan Pagaruyung.
Minangkabau waktu itu menjadi heboh. Perhatian masyarakat Minang tertumpu ke Tanjung Medan Ulakan sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam. Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islamam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunyaTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar